MAAFKAN AKU IBU

Bulan sabit tampak indah dikelilingi bintang berkilauan di malam yang indah. Namun tak sekemilau hati Nanda yang sedang gundah.  Oh...bintang kapan aku bisa menerangi hati Ibuku yang kelam seperti engkau menerangi malam. Sebenarnya Nanda ingin sekali membuat Ibunya tersenyum, namun kesanggupannya sebagai manusia terbatas. Ya Allah...berikan hambamu ini jalan...
Semua kagalauan itu berawal dari rencana teman Ibunya yang ingin menjodohkan anaknya dengan Nanda. Maklumlah usia Nanda yang mendekati kepala tiga sangat membuat Ibunya khawatir.  Apalagi berkali-kali dia putus cinta ketika hubungannya hampir menuju ke pernikahan. Apa sebabnya?  Itulah yang membuat Ibunya pusing  tidak karuan bahkan nyaris  putus asa. Bahkan ini kali ke dua Ibunya menjodohkannya dengan anak dari temannya tapi tidak cocok dan tidak cocok lagi. Ada saja kekurangannya yang membuat Nanda tidak berkenan. Semua penjelasan yang diberikan Nanda kepada Sang Ibu tidak bisa membuat beliau mengerti bahkan semakin murka. Dan itulah yang membuat Nanda semakin tertekan karena kali ini Ibunya benar-benar marah bahkan mengecapnya sebagai anak durhaka. Ya Allah begitu salahkah aku di mata Ibu?
Harus gimana coba, supaya Ibunya mengerti. “Nanda, ada apa denganmu?” Panggilan Carol tidak digubrisnya. “Nanda...!!!” teriak Carol sambil mencubit lengan rekan sekerjanya itu. “Iya..ada apa.” Kata Nanda terbata-bata. “Kamu yang kenapa? Seminggu terakhir tak amati kamu sering bengong. Diajak ngomong ngeblank gitu lhoh..” Ibuku Ol...Ibuku...marah dan mengecapku anak durhaka......” Gadis tegar itu menceritakan semua yang dialaminya sambil menangis terisak-isak. Untung saja kantor lagi sepi. Penghuninya pada Jum’atan dan sebagian lagi pada ngacir jalan-jalan siang. Carol berusaha mengendalikan emosi Nanda yang meledak. Dipeluknya gadis itu dan disuruhnya menangis sepuas-puasnya.
Sebenarnya tidak ada yang salah dan benar pada kasus Nanda. Semuanya benar dan semuanya ada salahnya juga. Repotnya, Ibunya Nanda punya karakter yang keras dan pemarah juga terkenal sulit diajak kompromi bila sudah punya kemauan. Semua harus dituruti. Begitu juga dengan Nanda, buah tak jauh dari pohonnya.   Nanda merasa berhak menolak jodoh pilihan Ibunya karena dia tahu benar keseharian dari cowok yang akan dijodohkan dengannnya. Meskipun pengetahuan agama Nanda pas-pasan tapi dia tahu 3 perkara yang harus dipertimbangkan untuk memutuskan menikah dengan seseorang. Pertama agama trus wajah  kemudian harta dan kita harus memilih agama seseorang untuk menikahinya. Nah, sekarang apanya yang mau dipilih? Agamanya jelas-jelas tidak bagus karena penjudi, wajah biasa-biasa saja, harta juga pas-pasan.  Menikah harus dilandasi cinta juga. Gimana mo nikah, wong cinta aja nggak kok. Wah, ibarat mendirikan rumah tanpa pondasi. Tapi pandangan Ibunya beda lagi, beliau berpendapat Nanda harus mau dengan cowok itu karena mumpung cowoknya mau dan umur Nanda yang sudah 29 tahun. Perkara cocok apa tidak ya urusan nanti, toh kalau tidak cocok bisa minta cerai. Nah lho! Akhirnya Nanda tidak bisa menerima pendapat Ibunya begitu juga sebaliknya.
Melihat hal seperti ini Carol tak mau tinggal diam. Lama-lama karir Nanda bisa terancam karena pekerjaannya salah melulu. Pak Arif sudah memberi warning kepadanya untuk membantu memecahkan masalah Nanda. Untungnya punya  atasan yang arif dan bijaksana. Carol akhirnya menelepon Mbak Dian, kakak Nanda yang tinggal di Tangerang. Mbak Dian sendiri juga bingung tapi berjanji akan membantu masalah adiknya. Minggu depan dia janji akan pulang kampung.
====
               Hari Sabtu pagi Mbak Dian dan suaminya sudah tiba di Malang.  Melihat kedatangan putri yang dibangga-banggakannya Sang Ibu senang sekali. Ini memang kejutan karena mereka sengaja tidak memberitahu Ibu sebelumnya. Nanda sengaja pergi dengan Carol sejak pagi untuk memberi kesempatan kepada Ibunya bersenang-senang dengan kakaknya.  Dia takut menganggu acara mereka.  Mereka pergi ke Surabaya untuk melihat Chef idola mereka yang tampil live di sebuah plaza di Surabaya. Meskipun begitu  Nanda tetap cemas. Carol tak bosan-bosannya menenangkan sahabatnya itu. Mereka hanya bisa berdoa supaya Mbak Dian berhasil meyakinkan Ibunya dan meredakan marahnya.
               Sore itu Ibu dan Mbak Dian ngobrol santai di taman belakang rumah yang asri sedangkan suami Mbak Dian dan Rizky, adik Nanda jalan-jalan menikmati kota Malang yang sudah berubah menjadi ‘Malang kota ruko’ bukan ‘Malang kota bunga’ lagi. Mereka rupanya tidak berani ikut campur.  Tampak wajah Ibu ceria sekali, kadang-kadang beliau tertawa terbahak-bahak. Pelan-pelan Mbak Dian mengarahkan pembicaraan ke masalah Nanda. Tak diduga Ibu yang semula cerah ceria berubah menjadi menakutkan. Dari mulut beliau keluar kata-kata yang sangat kasar. Mbak Dian benar-benar heran dibuatnya. Bahkan diapun ikut dicaci maki Ibunya. Belum pernah dia melihat Ibu semarah itu. Ya Allah berikan penyelesaian terbaik untuk Ibu dan Nanda. Mbak Dian hanya bisa berdoa dalam hati. Dipeluknya Sang Ibu dan ditepuk-tepuknya pundaknya untuk menenangkannnya. “Istighfar Bu....” Beliau sedikit tenang.  Rupanya Mbak Dianpun tidak dapat menyelesaikan masalah itu. Hanya doa dan waktu yang akan menentukan.
               Malam itu, kembali terdengar suara Ibu marah-marah tidak karuan. Rizky, Mbak Dian dan suaminya berusaha menenangkan Ibu. Rupanya Ibu marah lagi melihat Nanda yang pulang menjelang Isak. Dan kata-kata kasar keluar lagi dari mulut Sang Ibu. Kali ini beliau sampai mengusir Nanda dari rumah.  Melihat situasi rumah yang kacau mereka sepakat untuk tidak membiarkan masalah ini berlarut-larut. Kesehatan Ibu dan Nanda bisa terpengaruh karenanya. Tiba-tiba HP Mbak Dian berbunyi dan ternyata Nania yang telepon. Nah, ini kesempatan bagus. Ibunya biasanya bisa tertawa-tawa dengan Nania. Nania adalah putri kedua Mbak Dian. Ibu sayang banget dengan dia. Diberikannya HP kepada Sang Ibu. Dan Alhamdulillah tak lama kemudian terlihat Ibu tertawa terbahak-bahak dengan cucu tercintanya.
               Rabu sore Mbak Dian dan suaminya kembali ke Tangerang. Ibu turut serta dengan mereka.  Itulah solusi terbaik bagi Ibu dan Nanda, mereka harus berpisah untuk sementara waktu. Mereka berharap Ibu bisa terhibur dengan ketemu cucu-cucunya di Tangerang. Sebelum Ibunya berangkat Nanda memeluk Ibu yang sangat dicintainya. Dengan berurai air mata dia hanya bisa mengucapkan,”Maafkan aku Ibu....”
              

No comments:

Post a Comment