Bu Heni adalah seorang wanita
karir yang bekerja di sebuah instansi pemerintah. Suami Bu Heni yang bekerja di
sebuah kapal pesiar mewah memang hanya pulang 2 tahun sekali, hanya 2 bulan
itupun tidak penuh di rumah karena dia sering pergi ke luar kota berhari-hari
dengan alasan mengunjungi teman-temannya yang di luar kota. Sebagai suami istri
mereka hanya mengandalkan hubungan lewat telepon. Waktu itu internet belum
semaju sekarang. Rumahnya yang
terletak di kota kecil belum terjangkau internet. Hubungan jarak jauh inilah
yang rawan fitnah. Bu Heni yang bekerja sebagai pegawai negeri tentu saja harus
berhubungan dengan banyak orang untuk urusan kerja, wanita maupun pria.
Mana bisa milih sih? Karena tuntutan
pekerjaan dia kadang harus keluar kantor untuk urusan kerja, tentu saja bersama
rekan sekantornya yang kadang pria kadang juga wanita. Nah, permasalahan muncul dari sini. Ada isu
yang mengatakan dia selingkuh dengan atasannya. Dan berita itu sampai ke kuping
suaminya yang sedang berlayar. Entahlah, siapa yang menghembuskan fitnah itu.
Suaminya tiba-tiba saja menghentikan kiriman uang untuknya dan tidak bisa
dihubungi. Wanita berkulit putih bersih ini hanya menahan penderitaannya
sendiri, tidak berani cerita ke orang
tuanya. Dia hanya berharap suaminya cepat pulang dan menyelesaikan masalahnya.
Hatinya semakin galau sewaktu berkunjung
ke rumah mertuanya yang masih satu desa dengannya. Adik iparnya bercerita kalau suaminya masih
sering telepon dan berkirim uang kepada Ibunya. Suami Bu Heni memang
mengirimkan uang kepada dirinya dan Ibunya secara terpisah. Untuk menghindari
kesalahpahaman katanya. Adik iparnya juga bilang kalau suami Bu Heni akan
pulang kampung 4 bulan lagi. Mengapa hal
sepenting ini dia tidak tahu? Sudah tidak pentingkah anak dan istrinya ? Betapa
Bu Heni menangis, setiap kali telepon berdering anaknya yang baru berumur 3
tahun berlari mendekat dan berteriak ,”Papaaaaa!” Dan betapa kecewanya si kecil
ketika tahu yang telepon bukan Sang Papa. Untung saja, Ibu kandungnya yang
selama ini tinggal bersamanya sedang berada di rumah kakaknya di Jakarta. Jadi
Ibunya tidak tahu masalah yang menimpanya. Sikap Ibu mertuanya akhir-akhir ini
tidak menyenangkan sekali. Lihat saja, sudah setengah jam lebih Bu Heni dan
adik iparnya ngobrol tapi beliau tidak mau keluar kamar. Padahal dia sudah
mengetuk pintu kamarnya berkali-kali tapi tidak ada jawaban. Ternyata di dalam
kamar beliau sedang asyik bertelepon dengan anaknya yang di Jakarta. Sengaja
tidak menemuinya atau gimana ya? Adik iparnya juga tidak berani mengusik
Ibunya. Belakangan Bu Heni memang agak jengkel dengan sikap Ibu mertuanya.
Beliau sering berkali-kali minta uang yang jumlahnya ratusan ribu rupiah tanpa
alasan yang jelas penggunaannya. Lalu kemanakah uang kiriman bulanan untuk
mertuanya yang jutaan rupiah itu?
Sedangkan dia sendiri harus berhemat
karena tidak lagi mendapat jatah bulanan dari suaminya. Sejak awal
pernikahan, Buheni dan Ibu mertuanya memang sering konflik, apalagi kalau bukan masalah uang. Dia
menganggap mertuanya sudah keterlaluan dalam masalah keuangan, sudah dapat kiriman tapi masih saja kurang dan kurang. Selidik punya selidik, kakak iparnyalah yang menyuruh Ibunya untuk meminta uang. Jadi uang Ibu mertuanya habis untuk menghidupi kakak suaminya. Begitulah nasib
Bu Heni, hanya bisa menunggu sampai suaminya pulang.
Hari demi hari berlalu dan hari ini Bu
Heni bagai disambar petir di siang bolong.Waktu belanja ke pasar, tetangga ibu
mertuanya bilang kalau habis ketemu suaminya tadi pagi. Ternyata suaminya sudah
2 hari yang lalu pulang kampung. Kenapa dia
tidak mengabari dirinya? Nemuin anaknya juga tidak. Malah langsung menuju ke
rumah orang tuanya. Mumpung libur, Bu Heni secepatnya pergi ke rumah mertuanya.
Dia ajak suaminya bicara tapi tetap bungkam. Akhirnya dia hanya bisa menulis di
secarik kertas –‘TEMUI ANAKMU SEKARANG JUGA!’. Diberikannya kertas itu kepada
suaminya dan dia berlalu dengan hati yang kesal.
Sore itu suaminya datang ke rumah dan si
kecil menyambutnya dengan riang gembira. Seolah tak mau lepas dari Papanya,
kemanapun Sang Papa pergi dia pasti mengikuti. Bu Henipun menunggu anaknya
tidur untuk berbicara dengan suaminya. Saking jengkelnya, dia kunci semua pintu.
Diiajaknya suaminya bicara baik-baik. Ditenangkannya dirinya supaya tidak
marah. Ketika dia bertanya kenapa dia memperlakukannya seperti ini, suaminya
hanya menjawab- itulah hukuman untuk istri yang selingkuh. Bu Heni
menjelaskannya panjang lebar tapi suaminya tetap tidak percaya. Dia malah
marah-marah karena istrinya tidak mau memberi uang yang diminta Ibunya dan uang
hanya digunakan untuk foya-foya. Sekali lagi Bu Heni menjelaskannya, berapa sih
gaji seorang pegawai negeri? Uangnya juga habis buat beli susu anaknya
sedangkan uang dari suami tidak didapat lagi. Dimanakah tanggung jawab seorang
Ayah? Mendengar itu suaminya semakin marah. Dia menendang pintu yang terkunci.
Tidak mau anaknya terbangun dia membiarkan suaminya pergi dengan masalah yang
masih menggantung.
Hari ini Bu Heni sangat sedih tak
tertahankan. Sampai malam dia menunggu suaminya pulang sekedar menghibur
anaknya yang terus menanyakan kemana ayahnya pergi. Karena tak tahan mendengar
rengekannya, malam itu dia nekad menuju rumah mertuanya. Tak disangka, dia menjumpai
keluarga suaminya sedang asyik bersendau gurau. Mereka membicarakan oleh-oleh
yng dibawa suaminya dari luar negeri. Ya Allah, untuk anak istrinya saja dia
tidak membawa apa-apa sedangkan untuk keluarganya dia seperti itu.....Wanita
berusia 30an itu meneteskan air mata. Spontan si kecil berteriak memanggil
Papanya. Ibu mertuanya bilang ke anak-anaknya,”Lihatlah, istri macam apa dia?
Suami banting tulang di kapal cari uang eehhh malah dibuat dia foya-foya dan
senag-senang dengan lelaki lain!” Tudingan itu membuatnya marah sekali. Saat itu juga dia seritakan semua yang
terjadi. Adik iparnya membawa si kecil pergi. Hasilnya, mertuanya hanya mencaci
makinya sementara suaminya hanya diam membisu tanpa membelanya sedikitpun.
Dua hari kemudian suaminya datang lagi ke
rumah. Setelah puas bermain-main dengan si kecil, dia berbicara dengannya. Kali
ini dengan suara tenang dia mengutarakan maksud kedatangannya. Bu
Heni hanya melongo dan meneteskan air mata ketika suaminya menggugatnya cerai
dengan alasan yang mengada-ada, ‘selingkuh dan suka berfoya-foya’. Sejuta
kecewa, marah, merasa dipecundangi dan galau bercampur aduk menjadi satu. Belum
lagi putra semata wayangnya sakit-sakitan akhir-akhir ini. Dia tidak habis pikir, kenapa suaminya
gampang sekali membuat keputusan bercerai tanpa menyelidiki terlebih dulu
kebenaran berita kalau dirinya selingkuh atau tidak. Dan yang lebih menyakitkan lagi,
ternyata yang menyuruh cerai adalah Ibu kandung suaminya. Isu selingkuh dan
tukang foya-foya itu berhembus dari kakak kandung suaminya. Ya Allah......selingkuh
yang gimana dan foya-foya yang kayak apa? Bu Heni merasa tidak melakukannya.
Tapi dia tidak berdaya melawannya. Entahlah dia sudah mencoba berbicara dengan
mertua dan suaminya tapi mereka tetap pada keputusan menceraikannya.
Dan ketika Bu Heni menerima akta
perceraiannya, saat itu dia sadar bahwa statusnya ‘janda’. Terbayang di
hadapannya, apa yang akan terjadi dengan status barunya. Pasti ada yang iba,
iri, mencemooh dan omongan negatif. Rasanya tak sanggup menerima cobaan ini. Bagaimanapun, dia harus kuat karena si kecil
membutuhkan Ibu yang tegar di segala suasana.
Dari cerita dia atas, dapat kita simpulkan
bahwa pernikahan dengan tempat tinggal berjauhan memang rawan konflik.
Diperlukan rasa saling percaya, pengendalian diri, hati-hati dalam bergaul dan
komitmen yang kuat. Kita tidak boleh percaya begitu saja pada apa yang
dikatakan oleh orang lain meskipun itu saudara kandung sendiri. Apalagi, sampai ada mertua yang menyuruh
anaknya cerai dengan istrinya hanya gara-gara ‘uang’. Pastilah bukan mertua
yang bijaksana. Si anak bingung dan memilih menceraikan istrinya karena tidak
mau dicap sebagai ‘anak durhaka’. Sebenarnya siapa yang durhaka disini? Tindakan suami dan mertua Bu Heni tidak
dibenarkan. Apalagi mereka mengambil keputusan sepihak tanpa musyawarah. Suami,
jangan gegabah dalam memutuskan bercerai. Dan bagi pembaca yang mengalami
seperti Bu Heni, tegarlah karena si buah hati masih membutuhkan Ibunya. Jangan
takut tidak bisa makan karena dicerai suami. RENUNGKAN!
No comments:
Post a Comment