Kisah ini menceritakan seorang wanita karier yang mendapat julukan 'Nona Nana' dari teman-temannya. Dia gambaran seorang gadis dari desa yang yang berpendidikan tinggi dan berkarir mapan di kota. Inilah kisah lika-liku seorang wanita karier lengkap dengan segala tantangan dan ujian yang dialaminya.
Udara terasa dingin ketika bis yang ditumpangi Nona Nana memasuki kota kelahirannya. Ya, hari ini dia pulang kampung. Sudah 1 bulan terakhir dia tidak menjenguk Ibunya di kampung. Hatinya terasa sejuk memandang pepohonan hijau di sepanjang jalan. Ga kayak Surabaya yang panas dan Jakarta yang ruwet dengan kendaraan.
Udara terasa dingin ketika bis yang ditumpangi Nona Nana memasuki kota kelahirannya. Ya, hari ini dia pulang kampung. Sudah 1 bulan terakhir dia tidak menjenguk Ibunya di kampung. Hatinya terasa sejuk memandang pepohonan hijau di sepanjang jalan. Ga kayak Surabaya yang panas dan Jakarta yang ruwet dengan kendaraan.
Hari masih pagi ketika dia sampai di rumah. Rumah yang penuh kenangan masa kecilnya yang indah. “Assalamualaikum...!”Diketuknya pintu pelan-pelan. Tak lama kemudian terdengar suara membalas salamnya dan membukakan pintu untuknya. “Mbak....berangkat jam berapa dari Surabaya?” Hayu menyambut kedatangan Nona Nana. Kemudian dia membantu mengangkat barang-barang yang dibawa Si Nona. “Ibu kemana Yuk ?” Ke pasar Mbak, barusan berangkat.” Hayu adalah orang yang menemani Ibu di rumah. Ibu Nona Nana memang hanya tinggal berdua dengan Hayu. Sedangkan Nona Nana, kakak dan adiknya tinggal di luar kota. Hanya sesekali pulang kampung. Nona Nana dan Yoga adiknya yang sering pulang. Sedangkan Mbak Laras setahun paling cuma 3 kali pulang. Sejuk sekali hati Nana sesampai di rumah. Rumah ini memang membawa ketenangan dan semangat baginya. Setiap kali jenuh dan ada masalah yang tidak mengenakkan hatinya, rumah inilah tempat pelariannya. Aneh, setelah pulang kampung pasti seger deh fisik dan mentalnya.
Sambil nonton televisi, malam itu Nona Nana bermanja-manja dengan Sang Ibu. Canda tawa mengiringi mereka. Tiba-tiba terdengar ada orang mengucapkan salam dan mengetuk pintu. Ternyata Astri datang. Astri adalah sahabat Nona Nana sejak kecil. Bertambah ramailah suasana malam itu. Sang Ibu memberikan wejangan-wejangan untuk puteri yang amat disayanginya. Astri juga turut senang mendengarnya. Suasana agak tegang ketika pembicaraan sampai ke masalah jodoh. Nona Nana sangat berhati-hati ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan Ibunya. Kapan nikah Na? Nona Nana tak dapat menjawabnya dengan pasti. Ibunya memberikan nasihat supaya dia secepatnya memastikan hubungannya dengan Mas Elka.
Malam itu Astri nginap di rumahnya. Mereka punya masalah yang sama dalam hal jodoh. Usia mereka yang hampir 26 tahun memang sudah saatnya menikah. Masalahnya kok pacar mereka belum memberikan isyarat ke arah pernikahan. Nona Nana memang baru 7 bulan dekat dengan Elka. Jadi masih belum membicarakan pernikahan. Menurut Ibu, ga ada salahnya mulai diarahkan kesana. Malam itu, kedua sahabat yang jarang ketemu tersebut mendiskusikannya sampai larut malam. “Iyo yo Na, orang-orang pada ngrasani kita perawan tua ga payu rabi (perawan tua ga laku nikah) yo.” Astri tertawa cekikikan.”Emang kita dagangan apa. Pake ga payu segala. Kalaupun dagangan, ya kita ini termasuk komoditas ekspor, you know.” Omel Nona Nana. “Eh...wong aku lho ga jualan, sorry aja ya.” Astri juga jengkel dengan omongan tetangga. Lagian baru 25 tahun lebih sedikit gitu lho...Di kantor masih bayak yang usia 30-an belum nikah. Emang sih, cara pandang orang desa dengan orang kota beda. Tapi apa ya harus menikah gara-gara umur? Bukankah kita ga boleh sembarangan untuk menentukan dengan siapa kita menikah? Bukankah menikah hanya sekali seumur hidup? Jadi harus bener-bener dari hati. Tak terasa jam kuno peninggalan kakek Nona Nana berdentang 1 kali. “Woalah, wis jam siji lho..Na,” Astri mengusap-usap matanya yang sudah merah nenahan kantuk. “Yowis, turu wae yoookkk....”
Nona Nana tak dapat memejamkan matanya. Padahal dia sudah membaca doa-doa supaya cepat tidur. Badannya terasa penat tapi pikirannya melayang ke Mas Elka. Kenapa ya, dia merasa hubungannya dengan dia tak seindah dulu lagi. Mereka sekarang terpisah jarak. Sejak 4 bulan yang lalu Elka dimutasi ke Sumbawa. Maklumlah pegawai BUMN, ya harus manut ditempatkan di seluruh Indonesia. Mereka bertemu 1 bulan sekali pas Elka ditugaskan ke Bandung, Jakarta atau Surabaya. Meskipun begitu, setiap hari mereka sms, telepon, ataupun ketemu lewat internet. Zaman sudah canggih sih. Nona Nana berpikir, kalau menikah apa dirinya harus mengikuti kemanapun Mas Elka bertugas. Ya kalau pas di kota propinsi ga pa pa-masih rame. Tapi kalau di pedalaman...pedalaman Kalimantan atau Papua...Hii....ngeriiiii! Kalau ya, berarti dia harus keluar dari pekerjaannya yang sudah mapan. Sudah siapkah dirinya? Perasaannya masih bimbang...dan gamang....Untuk mengatasi gundah hatinya, Nona Nana mengambil air wudhu kemudian menunaikan sholat Hajat dan Istikarah. Malam itu dia memohon kepada Allah khususnya masalah jodoh. Dia hanya mohon supaya diberikan yang terbaik oleh Allah.
Ibunya terkaget-kaget ketika masuk ke kamar Nona Nana. Astri masih tertidur lelap, sedangkan Nana tidur di lantai masih berselimut mukena. Ibu mengguncang-guncang tubuh Nona Nana tapi ga bangun-bangun. Malah Astri yang bangun duluan. “Tri, semalam emang pada tidur jam berapa to Nduuk...?” tanya Ibu sambil masih terus mambangunkan Nana. “Sekitar jam 1-an Budhe,” jawab Astri dengan suara parau. “Pantes wae, jam 5 pagi masih molor...sana buruan Subuh. Bangunkan Nana ya.”Ibu meninggalkan mereka berdua dan pergi ke tempat senam Lansia (manusia lanjut usia). Nana akhirnya bangun juga dari tidurnya yang tidak nyaman. Rupanya dia langsung tertidur sehabis sholat Hajat, beralaskan sajadah dan masih bermukena. “Walah-walah jam piro saiki yo...aku belum Subuh.” “Lha wong awakmu dibangunkan Ibu ga bangun-bangun, kenapa sih, ga bisa tidur?” Astri ngomel-ngomel sambil merapikan tempat tidur.
Seperti biasa, kalau pas pulang kampung pagi-pagi sudah sarapan bubur pecel buatan Mbah Wiro. Enak, lain dari yang lain. Apalagi dilengkapi dengan lempeng dan lentho, bisa habis 2 bungkus. Trus makannya di kebun belakang. Bener-bener mak nyusss....”Na, Ibumu bener-bener pingin kamu cepet-cepet nikah lho, dia sering curhat ke aku. “ “Iya, aku juga tahu itu. Tapi sopo penantange Tri.” “Ya cepet dipastikan. Emboh karo sopo sing mbok pilih, Mas Elka po Mas Fariz !” Nona Nana terperanjat ketika Astri menyebutkan nama Fariz. Fariz adalah cowok yang pernah menjadi teman dekat atau calon suami tepatnya. Sayang sekali hubungan mereka tidak dapat berlanjut karena ada perbedaan pandangan di antara mereka. Meski begitu hubungan pertemanan mereka tetap baik. Nona Nana selalu membanding-bandingkan Elka dengan Fariz. Sosok Fariz seperti menjadi hantu yang membayangi langkahnya.
Ponsel Nona Nana berbunyi dan dia tahu pasti siapa yang telepon karena ringtone itu khusus diciptakan untuknya. Bunyi gitar itu membuatnya ingin secepatnya bertemu dengan pembuatnya. “Halo, Mas...ono opo?” “Besok kamu jadi bareng aku balik ke Surabaya?” “Tentu saja donk, bis rame, pesen travel ga kebagian.” Kemudian mereka asyik ngobrol sambil tertawa-tawa. “Na, katanya mau nyekar ke makam Bapak....jadi nggak..!” panggil Ibu dari dapur. “Jadi Bu, bentar lagi ya...!” Ibu ga begitu suka kalau Nana berakrab-akrab dengan Fariz. Fariz baik dan sangat mengerti Nona Nana. Mereka kompak banget, malah lebih tampak seperti anak dengan bapak. Fariz sangat memanjakan Nana. Bahkan ke lubang semutpun diantar – ikut nyemplung sekalian he..he...setianya. Makanya Nana sangat bergantung kepadanya bahkan ketika sudah punya kekasih yang lain yaitu Elka. Kayaknya sosok Elka belum bisa menggantikan Fariz 100%. Itulah yang Ibu takutkan. Jangan-jangan malah Nana yang mendua maksudnya punya pacar 2. Apalagi sekarang Nana dan Elka berjauhan dan jarang bertemu. Kalau ga cepat-cepat nikah bisa ga baik bagi mereka. “Na, besok kamu bareng sama Nak Fariz ya,” Ibu bertanya dengan hati-hati. Nana sangat sensitif kalau ada yang tanya tentang hubungannya dengan Fariz, meskipun itu Ibunya sendiri. Ibunya membaca ada sesuatu yang disembunyikan. “Iya Bu, tapi Ibu jangan berprasangka buruk pada dia ya, Nana Cuma bareng aja kok.” Nana juga dengan hati-hati membela dirinya. Dalam hati Nana juga berdosa karena telah membohongi orang-orang terdekatnya tentang hubungannya denga Fariz. Sebenarnya...” Na, coba kamu agak jauhi Fatan meneteskan air mata mengingat almarhum Ayah tercinta. “Ayo Bu sudah siang, kita pulang yok.” Mereka berdua bergegas meninggalkan makam Ayah karena gerimis mengiringi siang yang panas itu.
Nona Nana benar-benar bingung dengan harapan Sang Ibu yang menginginkannya secepatnya menikah. Padahal umurku belum 26 tahun. Umur segitu sudah tuwir buat orang Jawa. Bisa dibilang sudah perawan tua. Kalau orang yang sinis menyebutnya ga laku-laku. Emang jualan? Risih juga mendengar omongan tetangga. Apa yang harus kulakukan ya...Mo sama Mas Fariz ga mungkinlah karena Nona Nana pernah menolaknya karena beda keyakinan dan tidak ada yang mau mengalah. Ga mungkin memaksakan kehendak kepada orang lain. Yah...hanya berharap hidayah dari Allah. Kalau jodo ga kemana, begitu pikirnya. Nana merasa berdosa kepada Ibunya dan semua orang terdekatnya. Sampai kapan dia harus merahasiakannya? Merahasiakan hubungannya dengan Fariz. Nona Nana memang ga pernah putus dengan Fariz. Waduh...mendua donk...Diam-diam kok bakat mendua ya? Jangan berprasangka buruk dulu. Nona Nana dan Fariz memang membuat sebuah kesepakatan tidak tertulis. Karena hubungan keduanya yang belum bisa ke pelaminan maka mereka sepakat untuk jeda tapi tidak putus. Masing-masing boleh membina hubungan dengan siapapun. Nah, kalau ketemu pasangan yang sesuai, barulah hubungan mereka berakhir. Ada-ada aja anak jaman sekarang. Apa kepengaruh film dan sinetron? Pernah suatu saat mereka mencoba berpacaran dengan orang lain, ehh...ga berlanjut. Dan apa yang terjadi, ya balik lagi. Sampai suatu saat...Nona Nana bertemu dengan Elka. Seorang cowok yang berpenampilan sederhana berkarier cemerlang. Hubungan mereka masih berlanjut sampai sekarang tapi belum ke arah pernikahan. Fariz sendiri juga sedang PDKT dengan teman sekantornya tetapi juga belum jelas mo dibawa kemana hubungan itu. Hati Nona Nana dan Fariz masih ada ikatan yang enggan diputuskan.
Hari Selasa, Nana harus kembali bekerja. Libur 3 hari ini cukup untuk merefresh otaknya. Rasanya dia masih malas untuk kembali ke Surabaya. Pingin berlama-lama di rumah. Di kos-kosan panas. Apalagi sekarang lagi musim kemarau. Wah, andaikan dapat kerja di kampung halaman...hem...betapa bahagianya. Apalagi suasana di kantor juga sedang panas-panasnya. Ga kalah dengan kasus 'Angelina Sondah yang sekarang ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK' he..he...tapi kalau mengingat omongan tetangga tentang dirinya , kasihan Ibu juga, mending hidup di Surabaya. ”Na, jam berapa Nak Fariz jemput kamu?” “ Jam 1 malam, Bu.” “Trus langsung ke kantor ya, apa ga capek.””Doakan lancar, Bu. Jadi sampe Surabaya masih bisa istirahat.” Nona Nana malam itu berkemas-kemas. Wah, bawa oleh-oleh banyak banget. Mumpung dapat tumpangan mobil he..he...begitu pikir Ibu. “Na, ini untuk Nak Fariz ya.” Kata Ibu sambil memasukkan krupuk dan jeruk keprok kesukaan Fariz ke dalam kardus. “Kardus yang besar buat oleh-oleh teman-temanmu di kosan sama di kantor. Trus jenang dan sambal pecel pesanan Bosmu Ibu taruh di tas plastik hitam.” Wah, Ibu bener-bener baik, sampai segitunya kasih oleh-oleh ke teman-temannya.
Jam 12 lebih seperampat , Fariz tiba di rumah Nana bersama Adi adiknya. Tampak Ibu berbicara dengan Fariz di ruang makan sedangkan Adi duduk di ruang tamu. Jam 1 dini hari mereka berangkat ke Surabaya. Doa Sang Ibu mengiringi mereka. Hati Ibu Nana masih tetap was-was melihat hubungan anaknya. Dalam hati beliau berkata, andaikan saja Fariz mau pindah keyakinan....Akh...ditepisnya angan-angan itu dari hatinya. Bukankah ga boleh memaksakan keyakinan kepada orang lain. Jujur, dia salut kepada Fariz karena sudah teruji bisa menerima kekurangan anak gadisnya dibandingkan dengan Elka. Fariz juga lebih low profile. Elka sebenarnya baik tapi ada sesuatu yang kurang di mata Ibu. Entah apa itu, Ibu sendiri juga ga bisa menjawabnya. Manusia ga ada yang sempurna, begitulah Ibu menghibur diri. Dia hanya menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Itulah sebuah harapan dari seorang Ibu yang begitu menyayangi puterinya.
==
Bersambung ke Kepastian Yang Datang Disela Doa (Sebuah Harapan 2)
No comments:
Post a Comment